Bersatu Pasca Rencana Penggusuran

Namun, berkat dukungan masyarakat luas, komunitas Tionghoa, dan politisi di DPR, penggusuran itu ditunda. Meski belum bisa bernafas lega, setidaknya Tionghoa Benteng yang tinggal di sana masih bisa menempati rumahnya.
Sejak rencana penggusuran itu, Tionghoa Benteng bersatu membentuk Forum Masyarakat Kampung Benteng (FMKB) sebagai wadah komunikasi. Seorang pemuda bernama Edi Lim yang ditunjuk sebagai ketua.
”Dulu, saya tidak punya nama Tionghoa. Tetapi sejak rusuh penggusuran, saya diminta menggunakan nama marga di belakang nama saya, supaya menunjukkan identitas ketionghoaan saya,” ungkapnya ketika ditemui INDOPOS pekan lalu.
Menurut dia, sebagian besar warga di Desa Sewan tidak memiliki ciri-ciri fisik seperti Tionghoa kebanyakan. Hanya segelintir saja yang bermata sipit dan berkulit putih. Selebihnya, berkulit gelap dan tidak sipit. ”Kampung Benteng ini sudah ada sejak 1830. Bisa dilihat dari keberadaan klenteng tua yang menurut sejarah dibangun pada tahun itu. Kami sudah hidup turun temurun, dan hidup membaur dengan masyarakat sekitar tanpa ada gesekan maupun hambatan,” katanya.
Sebagai Ketua FMKB, Edi tengah berusaha agar semua warga di Kampung Benteng memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Keterbatasan biaya diakui dia menjadi faktor utama yang membuat banyak Tionghoa Benteng belum bisa mengurusnya. ”Kami di FMKB terus berusaha bekerjasama dengan beberapa pihak agar masyarakat di sini yang jumlahnya sekitar 400 KK bisa secepatnya mendapatkan surat legalitas kependudukan seperti KTP dan KK,” tuturnya.
Dia yakin, itu segera terealisasi. Sejak rencana penggusuran ramai diberitakan media massa, banyak pihak yang simpati dan memberikan bantuan. Bentuknya, beragam. Misalnya, pembangunan klinik oleh mahasiswa-mahasiswi Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida). ”Sekarang yang sedang membantu kami di klinik adalah mahasiswa-mahasiswi Ukrida Jakarta. Mereka membuka praktek buat warga di sini,” terangnya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Leave A Comment...