Sengketa Batas Jadi Bom Waktu

Konflik Horizontal Meluas, Kemdagri Harus Pro Aktif
JAKARTA-Ternyata, kisruh perbatasan tak hanya terjadi antarnegara. Di dalam negeri saja, terdapat beberapa kasus serupa yang hingga kini belum tuntas. Misalnya sengketa Pulau Berhala antara Jambi dan Kepulauan Riau, Pulau Tujuh antara Sumatera Selatan dan Bangka Belitung, Pulau Lari Larian antara Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat, dan tapal batas Bandung dan Bandung Selatan.
Jika kisruh perbatasan ini tak diantisipasi dan segera dilaksanakan bisa memicu konflik horizontal dan ketidakpercayaan terhadap pusat. Sengketa antara Provinsi Kepri dan Jambi mengenai Pulau Berhala, misalnya. Melalui Permendagri No 44/2011 tertanggal 27 September dan diundangkan 7 Oktober 2011, Mendagri menetapkan pulau itu masuk wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Akibatnya, masyarakat Kepri marah sampai melarang Mendagri berkunjung ke pulau tersebut.
Pakar Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo mengatakan, maraknya kasus-kasus tersebut akibat kesalahan dalam undang-undang pemekaran wilayah. Sebab, tuntutan pemekaran membutuhkan proses cepat, sehingga tapal batas kerap terlupakan. ’’Problem wilayah sekarang ini terjadi saat pembentukan UU-nya. Itu jadi konflik sampai sekarang,’’ urai Eko ketika dihubungi INDOPOS di Jakarta, kemarin (4/12).
Pria yang juga menjabat Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamen PAN dan RB) ini menjelaskan, pemerintah pusat harus menengahi masalah ini. Perlu dicek kembali wilayah-wilayah tersebut masuk mana. ’’Pembentukan daerah otonom itu kewenangan pemerintah pusat. Mereka harus tegas.
Dudukkan masalah lalu tetapkan dalam UU tentang pembentukan daerah otonom. Tidak ada jalan lain lagi,’’ terang pengajar di Universitas Indonesia (UI) ini. Daerah, lanjut Eko, bisa saja menentang keputusan pemerintah pusat mengenai sengketa perbatasan. Karena itu, sebelum menentukan sikap, pemerintah harus melibatkan daerah-daerah bersengketa. ’’Masalah ini bukan sengketa antar negara. Tapi wilayah. Yang sulit kalau ada sumber daya alamnya. Tapi ini di bawah kewenangan pusat. Perlu ketegasan saja.
Pusat memanggil daerah-daerah yang berkonflik,’’ tutur Eko. Menurutnya, keinginan masyarakat sebenarnya adalah kemakmuran, bukan hak pengelolaan. Siapapun yang mengelola dan mampu mensejahterakan tidak ada masalah. ’’Jangan melihat sempit. Tapi untuk nasional. Yang penting pulau maju. Perspektif nasional yang dikembangkan, bukan daerah. Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) dari Kepulauan Riau Hardi Selamat Hood mengatakan, munculnya banyak sengketa perbatasan karena Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak serius menyelesaikan.
Menteri hanya menjadikan penyelesaian kasus sebagai target program kerja. Sehingga tidak melihat situasi daerah. ’’Hal paling penting tugasnya selesai. Apakah (sengketa) harus ke Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) tidak masalah, toh nanti juga diputuskan,’’ kata Hardi. Sebelumnya, Wakil Ketua Komite I DPD Paulus Yohanes Sumino memaparkan, potensi meluasnya konflik antarmasyarakat yang bersengketa dalam tapal batas daerah sangat mungkin terjadi. Karenanya, penyelesaian sengketa tapal batas itu tidak bisa dilakukan secara sepihak, tapi harus antara dua belah pihak yang saling bersengketa. ’’Tidak bisa hanya sewenang-wenang pusat diputuskan sepihak.
Dua daerah yang sengketa itu harus saling menyepakati, sehingga potensi konflik yang akan meluas hingga aksi kekerasan bisa dihindarkan,’’ katanya. Ketua Komite III ini menegaskan, akibat kebijakan tersebut daerah merasa terkorbankan. Contohnya, sengketa Pulau Berhala. Sejak awal Kepri tidak pernah diberitahu dari awal bahwa pulau tersebut masuk Jambi. Padahal, lanjut Hardi, saat mengambil keputusan harus disosialisasikan ke dua daerah. Supaya pemerintah daerah tidak kaget. Jika kondusif, daerah bisa melakukan pendekatan ke masyarakat. ’’Tapi akhirnya kita diadu domba dengan keputusan menteri itu.
Seakan-akan kalau mau berantem ke ranah hukum saja,’’ kecam Hardi. Padahal, tambah Hardi, tinjauan historis kewilayahan pemerintah menunjukkan ke Kepri. Dalam UU 25/2002 tentang pembentukan Provinsi Kepri dijelaskan masalah Pulau Berhala diselesaikan melalui peraturan menteri. Tapi penjelasan bukan isi dari UU. Penjelasan itu aturannya lemah. ’’Kasus ini harus diselesaikan melalui UU juga. Kadang kala, Perda lebih kuat dari Permen. Kita lihat ini seakan-akan target ini di bawah kementerian saja. Apakah hasilnya terserah saja,’’ katanya.
Anggota Komisi II DPR Taufiq Hidayat mengatakan, pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan tapal batas itu satu persatu, sebelum ditandatangani menjadi peraturan menteri dalam negeri (permendagri). Sebab, sudah banyak kasus yang muncul. Salah satunya Pulau Berhala yang saat ini diperebutkan Jambi dan Riau. ’’Hal ini jelas tidak bisa dianggap sepele, karena menyangkut persoalan sumber daya, aset dan warisan budaya masyarakat setempat. Tentunya Mendagri dalam hal ini harus lebih teliti, hati-hati, dan transparan dalam memutuskan sengketa tapal batas. Sebab, bukan tidak mungkin banyak oknum dan ’’penumpang gelap’’ yang bermain,’’ papar politisi Golkar ini di Jakarta, kemarin (4/12).
Tidak hanya itu. Konflik batas wilayah ini bahkan terjadi di dalam satu provinsi. Misalnya, Kabupaten Musi Rawas (Mura) dan Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) di Provinsi Sumatera Selatan. Pihak Mura sebelumnya sudah mengantongi Permendagri No63/ 2007 tentang Penetapan Kabupaten Musi Rawas sebagai daerah penghasil sumur gas bumi Suban 4. ’’Jika kemudian muncul Permendagri baru mengenai batas wilayah yang memasukkan sumur-sumur itu ke kabupaten lain tentunya akan aneh dan mencurigakan,’’ kata dia. Lebih lanjut, Taufik juga bersama rekan lainnya di Komisi II, akan mengawasi dan menindaklanjuti semua keputusan mengenai konflik tapal batas daerah.
Pasalnya, bukan tidak mungkin jika dalam penyelesaiannya sampai memunculkan masalah baru dan menimbulkan kecurigaan adanya ’’permainan’’ di dalamnya. Faktanya, selain kasus Pulau Berhala, begitu banyak sengketa batas daerah provinsi/kabupaten/kota di Indonesia yang saat ini terjadi dan potensial untuk memicu kericuhan baru di daerah jika tidak ditangani dengan adil. Apalagi, proses keluarnya Permendagri No63/2007 itu sudah melalui mekanisme resmi dan termasuk hasil peninjauan lapangan, serta melibatkan kedua belah pihak. Aspek lain juga perlu dilihat yakni keadilan, misalnya, selama ini Muba sudah memiliki banyak sumur migas, sementara Mura tidak. ’’Jadi jelas bahwa dalam persoalan perbatasan pasti ada ladang besar yang diperebutkan.
Coba kalau itu tidak ada apa-apanya pasti tidak akan seramai saat ini sengketanya,’’ imbuhnya. Taufik yang juga duduk sebagai Ketua Kelompok Fraksi Partai Golkar di Badan Legislasi DPR ini menyarankan, Mendagri yang sudah membentuk Tim untuk menyelesaikan persoalan tapal batas ini agar lebih proaktif. Mendagri harus sering mengawasi kinerja tim itu. Pasalnya, tim yang bekerja menyelesaikan konflik tapal batas itu rentan disusupi kepentingan pragmatis. ’’Harus disadari betul oleh tim bahwa integritas tim sangat menentukan.
Mendagri juga harus sering-sering mengawasi terhadap aparat yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa tapal batas itu,’’ terangnya. Menurut dia, jika konflik itu meluas hingga pada aksi kekerasan antarmasyarakat, maka biaya yang ditanggung daerah akan sangat besar. ’’Karenanya tim penyelesaian sengketa tapal batas itu harus orang-orang berintegritas tinggi. Jangan sampai tim yang dibentuk mengomersialkan konflik tapal batas itu demi kepentingan pribadi,’’ pungkasnya. Kalangan DPR juga meminta Mendagri Gamawan Fauzi melakukan uji silang draft keputusan sengketa tapal batas antarprovinsi atau kabupaten/kota, sebelum ditandatangani menjadi peraturan menteri dalam negeri (Permendagri).
Uji silang tersebut, sebagaimana diungkap anggota Komisi II DPR Zainun Ahmadi, merupakan bentuk dari sikap kehati-hatian dan transparan Mendagri dalam memutuskan sengketa tapal batas, karena bisa jadi menteri tidak tahu ada “permainan” yang dilakukan bawahannya. ’’Uji silang Mendagri penting sebagai bentuk ketelitian dan independensi tim dalam bekerja, sebab dari perkembangan yang terjadi kami menangkap ada sesuatu yang aneh dengan respons masyarakat atas Permendagri tentang batas Provinsi Riau dan Jambi,’’ kata Zainun Ahmadi. ’’Komisi II DPR, tentu mengawasi, dan menindaklanjuti semua keputusan mengenai konflik tapal batas daerah jika dalam penyelesaiannya sampai memunculkan masalah baru, dan menimbulkan kecurigaan adanya ‘permainan’ di dalamnya,’’ tegas Zainun Ahmadi.
Mendagri: Silakan Gugat
Sementara itu, Mendagri Gamawan Fauzi mempersilakan Pemprov Kepri menggugat Permendagri 44/2011 yang menetapkan Pulau Berhala masuk wilayah Provinsi Jambi. ’’Lebih baik Permendagri itu digugat ke Mahkamah Agung, agar nanti keputusan hakim itu menjadi keputusan hukum yang tetap, sebab Permendagri masih mungkin untuk digugat,’’ kata Gamawan. Sebagai mantan Gubernur Sumatera Barat, Gamawan mengaku bisa memahami perasaan Gubernur Kepri HM Sani atas keputusan yang dia ambil dengan menetapkan Pulau Berhala masuk wilayah Jambi.
Tapi, ia mengatakan dirinya tidak bisa membiarkan status kepemilikan Pulau Berhala terus berlarut-larut tanpa kepastian jelas. ’’Supaya negeri itu jelas yang mengurusnya, karena sejak 1986 nyaris tak bertuan, kan lebih baik kita putuskan siapa yang berhak mengurusnya. Kalau Kepri merasa kurang puas, sebaiknya gugat saja Permendagri itu ke pengadilan,’’ tegas Gamawan. Menurut Gamawan, sebelum mengeluarkan Permendagri tentang status Pulau Berhala itu, pihaknya sudah menurunkan tim pengkajian ke lapangan berkali-kali dan memanggil pihak-pihak terkait.
’’Kesimpulannya, ya, Berhala masuk ke Tanjung Jabung (Timur),’’ imbuhnya. Ia menjelaskan, bayangkan bahwa selama 25 tahun tidak jelas provinsi mana yang memiliki pulau ini. ’’Untung saja tak ada bencana di situ, sehingga kita tak perlu mencari siapa yang bertanggung jawab,’’ katanya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Leave A Comment...