Tornado UI Seret Mendikbud

JAKARTA–Konflik internal di tubuh Universitas Indonesia (UI) tak kunjung menemukan titik terang. Pemerintah mau tidak mau akhirnya ikut terseret ke dalam pusaran tornado masalah di kampus perjuangan itu. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh kembali me manggil pihak Rektorat dan Majelis Wali Amanah (MWA) UI untuk duduk bersama agar badai cepat berlalu. Namun, hingga tadi malam, mediasi itu tampaknya masih berlangsung alot. Padahal, sebelumnya, pihak Rektorat UI dan MWA diberikan tenggat waktu untuk menyelesaikan masalah ini hingga akhir Desember 2011.

’’Pertemuan ini untuk menanyakan perkembangan tiga opsi yang diberikan Kementerian kepada Rektor dan MWA UI pada 13 September 2011 lalu,’’ terang Nuh ketika ditemui wartawan di Gedung Kemendikbud, Jakarta, kemarin.Opsi pertama, mempersilakan pihak UI jika ingin memperpanjang status Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kedua, mengubah UI menjadi perguruan tinggi negeri (PTN). Ketiga, mempercepat pemilihan rektor.

Akan tetapi, Nuh juga menyayangkan Rektorat UI dan MWA yang hingga saat ini belum juga bisa menentukan pilihan dari ketiga opsi tersebut. Padahal, lanjut Nuh, pemerintah sudah memberikan waktu hingga tiga bulan untuk bisa mengambil keputusan. Jika tidak, maka pengelolaan UI akan diambil alih sementara oleh pemerintah yakni Kemendikbud.

’’Tapi ternyata lebih dari tiga bulan diberikannya opsi tersebut, nyatanya kisruh UI belum menemui titik terang. Maka malam ini (tadi malam) kami undang rektor, dan MWA sembari makan malam, kami juga ingin bertanya apakah mereka telah memilih opsi mana yang akan dipilih,’’ tandasnya.

Mantan Rektor ITS ini menambahkan, pada dasarnya Kemendikbud menekankan agar kedua belah pihak tidak boleh saling meniadakan. ’’Yang terpenting adalah keberlangsungan UI di masa depan, dan bagaimana kedua organ itu (rektor dan MWA) dapat terus berjalan,’’ pungkasnya.

Nuh berharap kedua belah pihak dapat memanfaatkan waktu yang ada untuk menyelesaikan persoalan. Sebab, MWA UI periode saat ini akan berakhir masa tugasnya pada pertengahan Januari 2012. Sedangkan Rektor UI akan berakhir masa tugasnya pada pertengahan Agustus 2012. ’’Itu yang lebih penting, karena cepat atau lambat semua akan berakhir. Malam ini kami akan dorong semua untuk memilih dan menyepakati opsi mana yang akan dipilih,’’ imbuh Nuh.

Tak Larang MWA Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan pertikaian Rektor UI dengan MWA tak ada kaitannya dengan putusan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 tentang UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). ’’Memang pernah ada pihak UI yang menghubungi saya mempertanyakan itu. Tapi saya tegaskan bahwa putusan tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan MWA di setiap perguruan tinggi (PT),’’ tegas Mahfud di gedung MK, kemarin.

Ia menjelaskan, MK hanya membatalkan UU terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi yang disamaratakan secara nasional seperti tertuang dalam UU tersebut. Namun, tidak berarti komponen yang ada dalam BHP menjadi tidak berlaku. ’’Kami hanya membatalkan UU-nya, bukan konsep BHP-nya. Jadi kalau UI memilih untuk menggunakan BHP karena dinilai ada pertimbangan untuk melakukan itu ya tidak masalah,’’ ujarnya.

Misalnya, lanjut Mahfud, karena adanya perjanjian antar-stakeholder UI yang sempat didengarnya sehingga mengharuskan kampus tersebut menggunakan salah satu komponen BHP yakni MWA. ’’Yang saya dengar kan begitu. Tapi terlepas dari perjanjian itu juga sah-sah saja kalau ada kampus yang mau menggunakan MWA yang penting bukan karena amanah UU. Tapi lebih kepada pertimbangan internal,’’ bebernya.

Menurut Mahfud, putusan pembatalan terhadap UU itu tersebut karena pendapat MK secara hukum UU tersebut bersifat neoliberal. Mengalihkan tanggung jawab negara dalam memberikan pendidikan kepada warganya dengan salah satu kalimatnya ’boleh menarik uang kepada masyarakat sesuai kebutuhannya sendiri’.

’’Nah, sistem itu yang menurut mahkamah melanggar konstitusi karena justru membebankan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Padahal, dalam UUD jelas pemerintahan harus mengalokasikan sebesar 20 persen dari APBN,’’ tandasnya. Karena itu, Mahfud menegaskan putusan tersebut sama sekali tidak berimplikasi pada pembekuan MWA sebagai salah satu komponen BHP, sepanjang tidak ada upaya orientasi keuntungan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Semua PT tidak dilarang menggunakan BHP. ’’Karena, PT tidak boleh diserahkan kepada pasar seperti diatur dalam UU itu. PT di Indonesia harus bersifat nirlaba, tidak boleh cari untung. Nah yang dibatalkan di situ bukan kelembagaannya, tapi nirlabanya,’’ tegas Mahfud. Dalam UU itu, kata Mahfud, memang ada juga ketentuan 30 persen harus menyerap orang miskin untuk mendapatkan pendidikan. Tetapi, jika dibandingkan dengan kenyataannya, persentase itu diperebutkan oleh sekitar 80 persen rakyat (miskin) Indonesia.

’’Sementara, yang 70 persen bisa kuliah di situ karena bayar. Realita ini kan akhirnya disimpulkan bahwa persentase itu tidak maksimal dan tidak merata,’’ lanjutnya. Intinya, tegas Mahfud, putusan MK tidak melarang adanya MWA. Ada atau tidak ada itu tidak melanggar hukum. Dan, sebenarnya, ini sudah saya sampaikan ke Mendiknas, Dirjen Dikti, dan ke sejumlah rektor perguruan tinggi yang pernah ke MK, bahkan mantan Mendiknas Bambang Soedibyo juga saya jelaskan,’’ tegas Mahfud.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave A Comment...